Allah telah memerintahkan kepada hambanya untuk beriman dan bertaqwa, iman adalah fondasi, dasar suatu keyakinan dan taqwa merupakan wujud dari iman. Perintah ini telah disebutkan dalam Aquran
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam” (QS.3, Ali Imran: 102)
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu dan Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, Maka mereka Itulah orang-orang yang beruntung. (QS. 64, Attaghobun: 16)
Dua ayat Alquran yang satu mengatakan bahwa Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman dan bertaqawa dengan sebenar-benar taqwa, dan jangan sekali-kali meninggalkan Islam sehingga sampai akhir hayat akan tercatat sebagai orang yang berserah diri (muslim). Dalam menjalankan perintah Allah, menurut kesanggupan, misalnya ketika sehat maka shalat dilaksanakan dengan berdiri, namun bila sakit sehingga tidak mampu untuk berdiri maka jangan dipaksakan untuk menegakkan shalat dengan berdiri, karena bila dengan berdiri memang tidak sanggup. Maka menegakkan shalat bisa dengan duduk atau berbaring.
Kehidupan manusia selalu berputar, kadang mengalami senang, kadang susah, kadang terasa longgar, kadang setiap saat terasa sibuk dan harus efisien memanfaatkan waktu, begitu juga melihat kondisi ekonomi kadang merasa cukup kadang kekurangan. Demikian pula kadang berada dalam komunitas yang ramai, kadang sepi. Karena itu di manakah iman dan taqwa itu akan di tempatkan. Apakah iman dan taqwa disesuaikan dengan situasi dan kondisi? Dalam hal ini Rasululah SAW telah memberikan pelajaran.
اِتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
"Bertakwalah kamu kepada Allah dimana saja kamu berada dan ikutilah setiap keburukan dengan kebaikan yang dapat menghapuskannya, serta pergauilah manusia dengan akhlak yang baik." (HR. Turmudzi , hadits nomor: 1910)
Dalam hadits yang singkat itu terkandung hikmah yang banyak:
1. Perintah untuk bertaqwa kepada Allah di mana pun dan kapan pun, yaitu melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah. Melaksanakan perintah Allah dengan ikhlas untuk Allah dan mengikuti rasul serta meninggalkan apa yang dilarang atau apa saja yang diharamkan. Misalnya menjalankan apa yang diwajibkan Allah dalam rukun Islam, setelah dua kalimat syahadat lalu melaksanakan shalat, dengan menyempurnakan syarat-syarat, rukun dan kewajiban serta sempurnakan salat itu dengan segala hal yang berkaitan dengan shalat.
Barangsiapa yang tidak memenuhi salah satu syarat salat atau kewajibannya atau rukun-rukunnya, berarti ketakwaannya berkurang, seberapa banyak meninggalkan apa yang diperintahkan. Bertaqwa kepada Allah dalam zakat artinya menghitung semua harta yang wajib dikeluarkan zakatnya untuk dibersihkan, maka orang yang berzakat jiwanya akan menjadi bersih tanpa merasa bakhil, iri, tamak, tanpa merasa berat dan tanpa mengakhirkan. Barangsiapa yang tidak melakukan seperti itu, berarti tidak bertaqwa kepada Allah.
Bertaqwa dalam puasa berarti melaksanakan puasa seperti yang diperintahkan dengan menjauhi segala kesenangan, senggama, dengki, ghibah, adu domba, dan sebagainya yang dapat mengurangi kesempurnaan puasa dan menghilangkan ruh puasa. Karena makna puasa yang hakiki adalah menahan diri dari apa yang diharamkan Allah SWT. Begitu juga bertaqwa dalam kewajiban-kewajiban lainnya, yaitu menjalankannya dengan penuh ketakwaan kepada Allah, melaksanakan perintahnya dengan penuh keikhlasan dan mengikuti rasul-Nya. Begitu juga bertaqwa dalam larangan-larangan-Nya berarti meninggalkan apa saja yang dilarang Allah. Apapun yang dilarang Allah untuk tinggalkan.
2. Tutuplah keburukan dengan kebaikan untuk menghapusnya. Atau jika melakukan perbuatan yang buruk, maka tutuplah keburukan itu dengan kebaikan karena kebaikan dapat menghapus keburukan. Diantara kebaikan setelah keburukan itu adalah bertaubat kepada Allah dari keburukan karena taubat merupakan kebaikan yang paling mulia.
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”. (QS. 2: Al Baqarah: 222)
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS. 24: Annuur: 31)
Amal shalih dapat menghapuskan dosa yang telah dilakukan seperti sabda rasul bahwa shalat Jum’at hingga Jum’at, puasa Ramadha hingga Ramadhan dapat menghapus dosa yang ada diantara keduanya selagi tidak melakukan dosa besar. Demikian pula antara umrah yang satu dan yang lain menjadi kifarat terhadap dosa (kecil) yang dilakukan antara keduanya.
3. Pergauli manusia dengan akhlaq yang baik.
Dalam kehidupan bermasyarakat, jadilah insan yang dapat bergaul dengan akhlaq dan berbudi pekerti yang baik, bila melihat karya dan perilaku orang lain yang baik, biasakan untuk memuji dan jangan mencela, hendaknya menampakkan muka yang cerah, jujur, berbicara yang baik dan berperilaku dengan akhlaq yang mulia. Akhlaq menjadi simbol sempurnanya iman. Karena Rasulullah diutus oleh Allah adalah untuk menyempurnakan akhlaq. Akhlaq yang baik bisa menghantarkan pelakunya pada jalan yang baik, dicintai manusia dan kelak di hari Qiamat akan diberi pahala yang besar. (Syaikh Muhammad Al Utsaimin, Syarah Riyadhus Shalihin, Darul Falah, Jakarta, 2008: 409-411)