Rukun agawe sentosa, kerukunan membuat hidup menjadi damai, kerukunan menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis, kerukunan menciptakan persahabatan dan persaudaraan serta menghilangkan permusuhan. Demikian pesan singkat kerukunan yang sering menjadi tema dalam dialog, menjadi muqadimah dalam setiap menyampaikan tausiah dan sebagainya.
Akan tetapi kerukunan kemudian terbalik ketika sudah memasuki ranah agama dan keyakinan. Sejak kapan keyakinan itu berbeda, apakah keyakinan tidak bisa di paksakan, apakah keyakinan tidak bisa diluruskan dan apakah ada keyakinan yang sesat. Pemerintah telah memberikan pedoman di dalam menciptakan kerukunan umat beragama, yang di bagi dalam tiga kategori yaitu kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama dan kerukunan umat beragama dengan pemerintah yang sering di sebut dengan
tri kerukunan umat beragama.
Dari kerukunan yang berubah menjadi kericuhan sering di picu oleh perbedaan penafsiran didalam menghayati dan mengamalkan ajaran agama dan keyakinan. Didalam agama Islam sangat rentan terjadi perbedaan pendapat, kita ingat pada era tahun 1980-an Ormas Islam terbesar di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah sering di benturkan dengan tata cara pengamalan ajaran Islam, seperti niat shalat, doa qunut, ziarah kubur, upacara kematian dan lainnya. Permasalahan-permasalahan seperti ini sering menjadi konsumsi masyarakat awam sehingga menyulut adanya permusuhan, satu golongan menganggap dirinya paling benar dan menyalahkan yang lain, apalagi debat kusir yang kadang tidak mau mengakui kebenaran yang di sampaikan oleh lawan debatnya. Hal ini akan berakhir dengan permusuhan, bahkan bisa merembet pada perbuatan anarchi.
Idiologi dua Ormas ini sama, dalam konsep Ketuhanan, kenabian dan kitab sucinya, maka terjadilah pendewasaan umat beragama, bahwa perbedaan pendapat adalah merupakan rahmat. Setelah dua Ormas Islam ini dapat memahami dan menerima sebagai organisasi keagamaan yang berupaya untuk menyebarkan Islam sebagai
rahmatan lil ‘alamin. Perbedaan penafsiran ajaran Islam terulang terhadap penganut faham Ahmadiyah (Qodian), seperti peristiwa kerusuhan yang berlatar belakang agama terjadi di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Kerusuhan pada Jumat, 4 Februari 2011 sudah reda, tapi kembali panas pada Minggu, 6 Februari 2011 sehingga menimbulkan kurban jiwa. Akal sehat dan petunjuk agama beralih menjadi petunjuk hawa nafsu yang mengarah pada perbuatan anarchi.
Sesungguhnya kerusuhan ini akan terus terjadi sepanjang masa, karena agama adalah merupakan hak azasi manusia yang di jamin kebebasannya. Sehingga umat beragama sekalipun tidak pernah menajalankan agama yang di peluknya (contoh Islam) bila agamanya dihina pasti akan berontak, dan akan membela agamanya sekalipun nyawa yang menjadi taruhannya. Contoh kongkrit yang terjadi di Cikeusik, Pandeglang, Banten, ini adalah inten umat beragama. Jema’ah Ahmadiyah (Qodian) mengaku sebagai umat Islam, tetapi konsep keyakinannya menyalahi keyakian Islam, yang mana konsep kerasulannya tidak sebagaimana yang diajarkan Islam karena nabi mereka adalah Mirza Ghulam Ahmad.
Ini adalah keyakinan mereka, sedang mereka adalah saudara kita (dilihat dari simbol-simbol keislaman), karena umat Islam diikat dengan persaudaraan Islamiyah, tetapi mengapa keyakian kita berbeda. Dari manakah keyakinan itu datang, siapa yang bisa membuat yakin, apakah keyakinan itu datang secara tiba-tiba atau melalui proses. Memang tidak mudah untuk kembali pada Alquran dan Sunah Rasul bila umat Islam yang berbeda dalam pendapat. Apalagi keyakinan itu telah mengakar dan menjadi dogma keagamaan.
Disamping umat Islam berbenturan dengan umat Islam, umat Islam masih berbenturan dengan umat non muslim, dengan umat Kristen di Temanggung, kasus penistaan dan penghinaan agama yang di lakukan oleh Anthonius Rechmond Bawengan, pria kelahiran Manado (Sulut), yang dalam KTP-nya beralamat di Kelurahan Pondok Kopi, Duren Sawit, Jakarta Timur. Karena menganggap keyakinan dirinya paling benar dan perbuatannya adalah benar sehingga melupakan sikap toleransi antar umat beragama, bahkan tidak menghiraukan etika dalam menyebarkan ajaraan dan keyakinannya.
Ketika berkunjung ke tempat saudaranya di Desa Kenalan, Kecamatan Kranggan Kabupaten Temanggung (23 Oktober 2010) melakukan kegiatan penyiaran agama kepada orang yang telah beragama lain dengan menyebarkan buku-buku yang isinya merupakan penistaan atau penodaan terhadap agama Islam. Buku tersebut berjudul "Ya, Tuhanku Aku Tertipu, Tertipu Aku", dan "Saudara Perlukan Sponsor."
Fanatisme agama yang berlebihan tidak menyadari resiko yang akan di alami bahwa dirinya terjerat dengan ketentuan pasal 156 huruf a KUHP (primer), dan pasal 156 KUHP (subsider). "Ancaman hukuman menurut ketentuan itu adalah penjara selama 5 tahun". Disamping berakibat terhadap dirinya sendiri perbuatan yang dilakukan berimplikasi terhadap pemerintah. Satu permasalahan antar umat beragama teratasi, ketika dia kemudian di tangkap dan diserahkan pada pihak kepolisian untuk menjalankan proses hukum. Ternyata proses dalam pengadilan berakhir dengan kerusuhan yang membawa pada kondisi disharmonisasi dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama, dan perusakan terhadap fasilitas umum.
Apakah keyakinan tidak bisa di paksakan
Konsep keyakinan di dalam mendalami dan mengamalkan ajaran Islam, di kembalikan pada petunjuk Allah SWT melalui Alquran dan hadits nabi Muhammad SAW. Perbedaan didalam menafsirkan Alquran adalah suatu hal yang bisa di maklumi dengan syarat telah memenuhi kaidah-kaidah sebagai seorang mufasir, kecakapan dan kemampuannya. Walaupun demikian ternyata penafsiran tentu akan berbeda, perbedaan ini bukan untuk menyalahkan yang lain tetapi akan saling melengkapi guna menambah khasanah Islamiyah, hal ini karena dilandasi oleh latar belakang, kondisi sosio kultural para mufasir.
Sejarah membuktikan nabi Ibrahim sebagai peletak ajaran Tauhid, memperoleh keyakinan melalui proses yang panjang dengan mengamati perilaku masyarakat dan fenomena alam. Ibrahim mengatakan bahwa ayah dan kaumnya berada dalam kesesatan (Lih. QS.6:74-79). Nabi Muhammad diutus untuk menyampaikan rahmat bagi sekalian alam, memberikan petunjuk ke jalan yang lurus. Karena itu beliau diutus di lingkungan masyarakat Jahiliyah, suku Qurais telah mempunyai keyakinan secara turun-menurun menyembah berhala, dengan kegigihannya mereka banyak yang menerima keyakinan Muhammad. Sahabat rasul Umar bin Khatab memperoleh keyakinan dengan hidayah (datang dengan tiba-tiba) ketika mendengarkan alunan ayat Alquran yang sedang di baca oleh Fatimah bin Khatab (adiknya).
Peristiwa menggembirakan dan menggemparkan dunia Barat, bahwa setelah Imam Khumaeni memutuskan hukuman mati bagi Salman Rusdie pengarang The Satanic Verses. Dunia Barat gempar dengan karya tersebut dan timbul dorongan untuk membeli buku itu. Kaum cendekiawan Barat yang sudah bosan dengan dogma-dogma gereja berfikir kritis mengapa Imam Khumaeni menjatuhkan hukuman seberat itu. Setelah membaca The Satanic Verses, sebagai ilmuan yang memegang teguh etika pemikiran bebas dan obyektif mereka membaca dan mempelajari Alquran, banyak diantara mereka yang tertarik pada Islam bahkan menjadi pemeluk agama Islam (Imaduddin Abdurrahim, PH. D, Islam Sistem Nilai Terpadu, hal: 119).
Dengan mempelajari tarikh Islam, dan peristiwa dalam kehidupan bermasyarakat maka tepat bila MUI menghukumi Ahmadiyah sebagai faham yang sesat pada tahun 1980 dan tahun 2005. Sekalipun telah di nyatakan sebagai faham yang sesat namun tetap tegar bahwa dirinya adalah menyampaikan ajaran yang benar. Oleh karena itu selama jema’ah Ahmadiyah masih menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai rasul terakhir, keyakinan ini tidak dapat diterima oleh umat Islam dan itu bukan merupakan merupakan Organisasi Islam. Karena itu mereka bukan termasuk dalam saudara muslim yang diikat dengan ikrar syahadataini,
“Asyhadu anlaa ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”: Saya bersaksi, bahwa sesungguhnya tiada Tuhan, melainkan Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah.
Dengan demikian penyebaran faham mereka tentu akan meresahkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang selanjutnya akan merusak sendi-sendi kerukunan umat beragama. Agama yang menurut orang jawa di sebut sebagai
ageman (pakaian) yang dapat membuat indah, sehat, aman bagi pemakainya dan orang lain, justru akan menjadi sesuatu yang menakutkan.
Kita hanya bisa berharap semoga forum dialog yang akan di selenggarakan oleh Kementerian Agama RI dengan melibatkan pihak Ahmadiah, MUI, Ormas Islam lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang selama ini menaruh perhatian terhadap eksistensi kelompok itu Qodian atau Lahore. Sehingga apabila dalam kenyataanya mereka mempunyai nabi terakhir Mirza Ghulam Ahmad agar tetap terjalin ukhuwah dan keberadaannya di lindungi oleh undang-undang Menteri Agama RI Suryadharma Ali hendak memberikan empat alternative yang perlu di pertimbangkan,
pertama untuk menjadi sekte tersendiri dengan menanggalkan atribut keislaman atau
kedua kembali ke ajaran Islam yang benar atau menerima seluruh ajaran dalam Islam,
ketiga Ahmadiyah dibiarkan hidup di Indonesia,
keempat dibubarkan, dan kemungkinan-kemungkinan yang lain (Suara Merdeka, 11 Februari 2011).
Opsi adalah langkah terakhir, walaupun dengan opsi tersebut tidak akan memuaskan semua pihak. Namun bila kita mengingat sejarah NKRI, pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibi pernah memberikan opsi bagi provinsi terakhir yaitu Timor Timur. Opsi dilakukan sebagai langkah terakhir bagi masa depan Timor Timur tetap bergabung dengan NKRI atau bukan termasuk wilayah RI. Dengan pilihan tersebut Timor Timur menjadi negara yang berdaulat dan NKRI tidak dianggap sebagai penjajah.
Begitu juga opsi yang akan di berikan pada jema’ah Ahmadiyah akan menentukan masa depan jema’ah dan pemerintah RI dalam upaya untuk melindungi kehidupan beragama dan sekaligus menciptakan kerukunan hidup umat beragama. Mudah-mudahan sebelum melakukan langkah dialog agar semua peserta dialog untuk saling memaafkan dan memohonkan ampun bagi jema’ah Ahmadiyah khususnya kemudian bermusyawarah. Untuk selanjutnya bertawakal yaitu membuat kesepakatan untuk menjaga komitmen hasil dialog (Lih. QS. 3: 159). Kita yakin beragama karena Allah dan karena petunjuk Allah kita melaksanakan agama, bagi Allah kita beragama karena itu hanya kepada Allah kita mengharap.
Karena itu ketika kerukunan umat beragama kembali tergugat perlu dilakukan
pertama langkah-langkah pembinaan intern umat beragama. Sebagai tokoh Ormas hendaknya selalu meningkatkan pembinaan secara total bagi anggotanya, yang meliputi bidang akidah, syari’ah, akhlaq dan keilmuannya selalu dikaitkan dengan keislaman atau keislaman dikaitkan dengan ilmu, undang-undang dan norma-norma kemasyarakatan agar tidak terjadi
spliet personality. Sehingga setiap pengamalan ajaran agama akan menambah kedekatan kepada Sang Khaliq untuk selanjutnya mendatangkan kesejukan dalam kehidupan bermasyarakat.
Kedua mengoptimalkan fungsi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai forum yang mewadahi aspirasi seluruh organisasi keagamaan di Indonesia. Karena itu selalu menjalin komunikasi antar umat beragama, dengan kegiatan ini akan meminimalisir segala hal yang akan merusak kerukunan umat beragama.
Ketiga pemerintah untuk selalu intens didalam memfasilitasi setiap kegiatan pembinaan kerukunan antar umat beragama. Karena salah satu upaya untuk menciptakan kerukunan dan kedamaian adalah bila antara ulama’ dan umaro’ berjalan secara bersamaan.