Ada pantun yang mengatakan dari mana datangnya lintah dari sawah turun ke kali, dari mana datangnya cinta dari mata turun ke hati. Dari mana datangnya penyakit? Para ilmuan mencoba mencari jawaban, dengan pengamatan dan penelitian, mendapatkan jawaban. 1) penyakit atau sakit itu sumbernya dari hati, ada yang mengatakan bahwa 2) sumber penyakit adalah dari makanan dan mungkin ada lagi yang mengatakan bahwa 3)sumbernya penyakit itu datang dari kebiasaan yang tidak baik, ada lagi yang mengatakan dengan alasan yang berbeda.
Mengejar makanan enak |
Semua ini menandakan bahwa semua orang peduli terhadap kesehatan, menginginkan sehat dan tidak ingin sakit. Karena sakit adalah suatu kondisi yang tidak diinginkan, dimana ketika sakit semuanya menjadi serba terbatas, gerak, aktivitas, perbuatan, makan minum bahkan beribadahpun menjadi terbatas. Manusia adalah makhluk yang ingin bebas, segala perbuatan apapun bisa dilakukan ketika dirinya sehat. Perbuatan baik atau buruk bisa dilakukan, perbuatan yang diridhai atau yang dimurkai oleh Allah semua bisa dilakukan. Akan tetapi semua ini akan berdampak pada dirinya.
Karena itu dengan landasan, alasan sumber datangnya penyakit itulah, maka setiap orang ketika sedang sakit akan membayangkan atau berharap dirinya bisa menjadi sehat. Banyak orang bercita-cita ketika sedang sakit, bila kelak sehat kembali akan merubah segala kebiasaan yang tidak baik. Akan makan minum secara teratur, akan meningkatkan beribadah kepada Allah. Ini adalah suatu hal atau cita-cita yang disampaikan ketika dirinya itu sedang menderita sakit.
Oleh karena itu sehat adalah merupakan pilihan, dengan berbagai macam alasan dari mana sumbernya penyakit itulah, maka secara garis besar adalah bagaimana manusia itu bisa menyeimbangkan antara kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani dan juga pengendalian diri, dari sesuatu yang sifatnya berlebihan. Bila sakit itu sumbernya dari hati maka sesungguhnya ini juga beralasan, ketika hati manusia itu tenang maka akan menimbulkan kedamaian, kebahagiaan, otot-otot saraf manusia akan menjadi longgar demikian juga peredaran darah pun juga akan menjadi lancar. Tetapi hati yang tenang ini juga membutuhkan suatu upaya. Hati yang tenang tidaklah diperoleh dengan dan cuma- cuma, tetapi harus melalui upaya, bagaimana bisa membiasakan diri untuk bisa melakukan aktivitas rohani sehingga hati menjadi tenang misalnya dengan memperbanyak zikir kepada Allah, dengan memperbanyak membaca Alquran, dengan sering bergaul dengan orang-orang yang baik, membiasakan untuk melakukan shalat malam, membiasakan untuk ikut merasakan penderitaan orang lain. Maka dari disinilah akan menimbulkan hati yang tenang.
Bagaimana bisa membiasakan untuk bisa membaca Alquran, ini merupakan upaya yang harus dilakukan secara terus-menerus. Sekarang kehidupan manusia dihadapkan dengan media informasi yang berada di tangan, sehingga manusia lebih sering memegang HP daripada memegang Alquran. Bahkan ketika HP berbunyi maka akan segera memegangnya, tetapi sangat berbeda ketika ada panggilan adzan, sudahkan ada niat untuk segera mengingat Allah? Padahal ketika ada panggilan shalat kemudian segera menegakkan shalat, maka akan mendapatkan ketenangan hati.
Disinilah bahwa hati yang tenang tentu memerlukan upaya. Hati yang tenang yang diperoleh tanpa upaya, maka suatu saat ketika mendapatkan cobaan, maka hatinya akan menjadi kacau. Sebagai contoh, misalnya orang yang merasa dirinya sehat, dia beraktivitas biasa, tetapi suatu saat dia merasakan pusing perutnya juga mual, kemudian pusingnya sampai tidak tertahan, sehingga akhirnya dia periksa ke rumah sakit dan ketika sampai di rumah sakit ternyata dia dianjurkan untuk opname.
Mendengar kata opname saja mungkin hatinya sudah gelisah, mengapa harus di opname, adakah penyakit yang berat? setelah pihak medis melakukan tindakan, dicek tensinya ternyata tinggi. Gula darah, kolesterol, trigliserid, asam urat, dari hasil laboratorium semuanya menunjukkan angka yang tinggi, mengapa bisa demikian?
Kembali pada sikap hidup dan kebiasaan, manusia hidupnya terlalu berlebihan kurang bisa mengendalikan diri, keseimbangan antara jasmani dan rohani itu tidak diperhatikan. Apakah tujuan makan? Makan untuk hidup atau hidup untuk makan? Demikian pula dalam hal beribadahnya, hanya sekedar menggugurkan kewajiban saja, amaliayah Islam hanya sekedar sebagai formalitas saja. Dari sini, ketika orang tersebut mengetahui hasil pemeriksaan dokter tersebut maka ketenangan jiwanya akan semakin terkoyak, kekhawatiran- kekhawatiran selalu berkembang.
Sesungguhnya ketenangan hati itu sangat menentukan taraf hidup dan kesehatan seseorang. Memang benar bahwa makanan itu juga menjadi sumber penyakit, walaupun pada dasarnya semua makanan itu diperbolehkan, tetapi ada batas-batasnya, jangan berlebihan. Ingatkah ketika kita makan yang enak tentu akan menambah takaran. Padahal belum pasti yang enak di lidah itu menyehatkan badan, sebaliknya ketika makan makanan yang di lidah tidak enak maka makanan tersebut akan dijauhi. Sesungguhnya enak itu hanya sekedar di lidah. Karena itu pengendalian diri sangat penting.
Makanan menjadi sumbernya penyakit bila makanan itu dimakan secara berlebihan, “Kuluu wasyrabuu walaa tusrifu “ makan dan minumlah kamu sekalian tapi jangan berlebih-lebihan (QS.2: 187). Sudah menjadi kebiasaan bahwa setelah makan-makanan secara berlebihan manusia cenderung kurang beraktivitas, baik aktivitas jasmani maupun aktivitas rohani. Kurang gerak mengakibatkan penumpukan lemak, yang bisa memicu munculnya penyakit-penyakit yang lain, sehingga menimbulkan rasa kantuk dan akhirnya tidur. Orang yang tidur aktivitasnya berkurang, aktivitas fisik dan aktivitas rohaninya berkurang. Jangan salahkan makanan, tetapi salahkanlah dirinya sendiri. Karena itu selagi masih diberikan kesempatan panjang umur, sehat dan sakit merupakan sunnatullah, tetapi kita ikhtiar agar selalu sehat. Setiap perbuatan akan bisa dilakukan dengan baik manakala kondisinya sehat.
Setelah mengetahui sumber datangnya penyakit selanjutnyaa berupaya untuk bisa menata diri. Ketika sehat yang merasakan dirinya sendiri, ketika sakit juga yang merasakan dirinya sendiri. Ketika sehat akan bisa memberikan kontribusi dan memberikan manfaat kepada orang lain, ketika sakit justru akan dibantu oleh orang lain, tidak bisa memberikan kontribusi kepada orang yang lain dan sebaik-baik orang itu adalah yang bermanfaat bagi orang lain.