Tugas sebagai Khalifatullah dan sebagai Hamba Allah, merupakan dua macam tugas manusia yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Karena itu didalam setiap kesibukan melaksanakan dua tugas itu, pernahkan merenungkan diri, bahwa bila dalam urusan keduniawian agar melihat kepada orang yang dibawahnya dan bila dalam urusan keagamaan agar melihat kepada orang yang diatasnya. Dari sabda rasul tersebut apakah mengisyaratkan, bahwa Islam mendorong umatnya menjadi umat yang miskin dan lemah, karena mendorong umat untuk merasa puas dengan yang dimiliki dan tidak meraih yang diatasnya?
Islam menganjurkan untuk menjadi umat yang kuat, namun bila dianjurkan untuk melihat pada yang dibawahnya, hal ini dalam batas-batas tertentu, agar umat Islam selalu bersyukur, karena sesungguhnya dengan bersyukur itu, Allah akan menambahkan kenikmatannya, akan dibukakan pintu rezkinya. Karena syukur adalah bahasa hati, menunjukkan kebeningan hati yang akan membukakan pintu akal, sehingga menumbuhkan perilaku baik dan positif. Sebaliknya Islam menganjurkan dalam urusan agama agar melihat kepada orang yang diatas-Nya, karena sesungguhnya ilmu agama itu tidak akan pernah selesai untuk dikaji. Karena ilmu Allah diibaratkan air yang berada di lautan sedangkan ilmunya manusia ibarat setetes air di lautan. Maka bila dalam urusan ilmu dan agama melihat kepada orang yang dibawahnya, maka ilmu Allah akan semakin jauh dari jangkauan, sehingga akan menjadi pribadi yang amat dangkal dalam bidang ilmu, hatinya gersang dan perilakunya akan mengarah pada perilaku yang tidak terpuji. Semakin luas ilmu agama maka akan bijaksana, memiliki kecerdasan emosi, spiritual, intelektual dan sosial.
Pernah suatu saat pada zaman rasul ada seorang hamba Allah yang merasa iri terhadap amal ibadah orang-orang kaya. Mengapa, hal ini tidak lain karena didalam menjalankan perintah Allah, bila orang miskin menegahkkan shalat maka orang kayapun juga menegakkan shalat, orang miskin puasa orang kayapun juga puasa. Namun bedanya ketika orang kaya bersedekah, maka orang miskin tidak bisa meraih pahala sedekah. Orang miskin demikian ini yang sadar dengan kemiskinannya, namun tidak pernah mau ketinggalan untuk meraih keutamaan yang diberikan oleh Allah SWT.
Banyak yang terjadi ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat, tahu bahwa dirinya miskin, tidak bisa memiliki sesuatu yang dimiliki oleh orang-orang kaya, namun berupaya untuk meniru kebiasaan orang-orang kaya. Dalam hal berpakaian, makan, minum, gaya hidup konsumtif dan sebagainya. Kalau hal ini dilakukan maka sudah menjadi orang yang miskin yang masih jauh dengan Allah. Maka bila orang miskin yang sadar dengan kemiskinannya akan dekat dengan Allah, akan mudah menjalankan perintah-perintah Allah. Rasul pernah bersabda:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ نَاساً مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوْا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُوْرِ بِاْلأُجُوْرِ يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلِّي، وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ، وَيتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ : أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُوْنَ : إِنَّ لَكُمْ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٍ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةً وَنَهْيٍ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةً وَفِيْ بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةً قَالُواْ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ ؟ قَالَ : أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ وِزْرٌ ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ . [رواه مسلم
Dari Abu Dzar Radhiallahuanhu: Sesungguhnya sejumlah orang dari shahabat Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam berkata kepada Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam: “ Wahai Rasululullah, orang-orang kaya telah pergi dengan membawa pahala yang banyak, mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka puasa sebagaimana kami puasa dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka (sedang kami tidak dapat melakukannya). (Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam) bersabda: Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian jalan untuk bersedekah? Sesungguhnya setiap tashbih merupakan sedekah, setiap takbir merupakan sedekah, setiap tahmid merupakan sedekah, setiap tahlil merupakan sedekah, amar ma’ruf nahi munkar merupakan sedekah dan setiap kemaluan kalian merupakan sedekah. Mereka bertanya: Ya Rasulullah masakah dikatakan berpahala seseorang di antara kami yang menyalurkan syahwatnya? Beliau bersabda: Bagaimana pendapat kalian seandainya hal tersebut disalurkan di jalan yang haram, bukankah baginya dosa? Demikianlah halnya jika hal tersebut diletakkan pada jalan yang halal, maka baginya mendapatkan pahala. (Riwayat Muslim)
Sesungguhnya orang miskin akan meraih keutamaan bersedekah dengan memperbanyak zikir. Baik zikir dalam hati, lisan bahkan dilaksanakan dalam bentuk amal perbuatan. Zikir dalam hati selalau ingat Allah dalam kondisi dimanapun berada dan dalam keadaan bagaimanapun juga. Ketika sedang sendiri atau bersama-sama selalu ingat Allah, dalam kondisi sibuk atau luang, dalam kondisi miskin atau kaya, dalam kondisi tua atau muda, sehat atau sakit. Orang yang demikian ini selalu merasakan kehadiran Allah, sehingga walaupun tidak dapat melihat Allah tetapi yakin bahwa Allah selalu melihatnya, mengawasi dan mencatat segala perbuatannya yang kelak akan diintai pertanggungjawaban.
Zikir dengan lisan adalah dampak dari keyakinan tersebut, misalnya mengucapkan kalimat takbir, tasbih, tahlil dan tahmid baik dengan hitungan tertentu maupun menurut kemampuannya. Namun sebaiknya untuk menekan kemauan hawa nafsu dengan hitungan, misalnya setelah selesai shalat membaca subhanannal 33 kali, alhamdulillah 33 kali, Allahu akbar 33 kali, la ilaha illallah wahdahu lasyari kalahu lahul mulku walahul hamdu yuhyi wayumitu wahuwa ‘ala kulli syai-in qadir 100 kali.
Kalau berzikir tidak dengan hitungan maka akan melaksanakan semaunya, padahal pikiran masih kusut, hati keruh, perbuatan yang amburadul, nafsu membara. Kondisi yang demikian ini harus meneguhkan hati dan keimanan dengan berzikir. Allah telah menyatakan bahwa dengan berzikir hati akan menjadi tenang (ala bizikralli tathmainnul quluub). Kemantapan, konsisitensi dan istiqomah pada umumnya harus dilakukan dengan keterpaksaan, contohnya para sufi, melakukan langkah-langkah untuk menjernihkan qalbu dengan takhalli, tahalli dan tajalli (3T). Kegiatan ini sering dilakukan oleh umat Islam yaitu dengan menyelenggarakan mujahadah (bersungguh-sungguh). Apa yang dilakukan dalam mujahadah, tidak lain adalah membaca wirid, zikir yang berpedoman pada Rasulullah (zikir ma’surat) atau amalan-amalan para sufi atau para shalih dan shalihin.
Dari bentuk keterpaksaan ini, akhirnya merasakan ketenangan, kedamaian, keikhlasan, tawadhu’, ridha dan sifat-sifat terpuji lainnya. Maka para mujahid merasa ketagihan, sehingga akan mengulang-ulang kegiatan tersebut. Dan buah dari kegiatan tersebut akan dirasakan oleh pribadi yang bersangkutan, karena itu pengalaman spiritual hanya diri sendiri yang merasakan, sehingga akan ikhlas dan penuh kesadaran akan melakukan hal-hal yang kadang menurut orang lain tidak bisa dilaksanakan. Disamping berpengaruh pada diri sendiri juga akan berdampak pada lingkungannya, dimana akan menjadi pribadi yang memberikan manfaat bagi orang lain. Sehingga terwujudnya Islam sebagai agama menjadi rahmat bagi sekalian alam, karena dapat diamalkan oleh orang-orang Islam.
Ketiga berzikir dengan amal perbuatan, bila hati sudah tenang dan tertata, artinya telah dapat menata hati nurani, akibatnya setiap perbuatan akan dilakukan dengan sikap tenang. Bahkan setiap perbuatan selalu direncanakan dan mempunyai visi dan misi yang jelas. Sehingga setiap perbuatan selalu mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan bersama. Kegiatan ini bila dapat diterapkan secara total akan menjadi bentuk shadaqah. Sehingga terangkatlah derajat kemuliaan orang-orang miskin.