Siapapun orangnya akan berpandangan bahwa bila memperoleh harta yang banyak tentu akan mendatangkan kenikmatan dan kebahagiaan. Karena dengan harta apapun akan dapat diwujudkan, makan enak, tidur nyenyak, perhiasan yang wah dan rumah yang mewah, shoping dan traveling akan dengan mudah diwujudkan. Karena harta yang berlimpah akan memperlancar segala keinginanannya.
Oleh karena itu menjadi watak manusia untuk senantiasa bekerja dan berusaha untuk memperoleh kecukupan harta, namun sadarkah bahwa kondisi sosio kultural masyarakat yang berusaha untuk memutarbalikkan fakta. Bekerja mambanting tulang memeras keringat namun walau demikian senantiasa mengingat untuk berzikir kepada Allah. Karena dirinya sadar akan tugas sebagai hamba Allah, maka ketika telah datang waktu shalat segera meninggalkan pekerjaan untuk kontak langsung dengan Allah. Ternyata disana dirinya semakin sadar akan arti pentingnya panggilan shalat, karena setelah shalat akan memperoleh kesegaran kembali, tenaga pulih, pikiran tenang dan tubuhpun terasa fresh kembali. Usaha yang senantiasa ditekuni, dan senantiasa berpengharapan akan rahmat dan karunia Allah untuk dikabulkan keinginnya. Allah Maha Mendengar tidak membiarkan hamba-Nya yang giat, tekun dan istiqomah dalam beramal shaleh diangkat status ekonomi dan sosialnya. Harta semakin berkecukupan. Namun sementara orang salah menilai bahwa mereka telah melakukan perbuatan perdukunan untuk memperlancar usaha dan mempercepat kekayaan.
Hal tersebut terjadi karena pandangan masyarakat Jawa yang senantiasa memegang teguh pada semboyan "mangan ora mangan sing penting kumpul". Dengan faham fatalisme ini, kondisi kemiskinan kultural yang senanatiasa menjadi belenggu untuk meningkatkan kesejahteraan sulit untuk didobrak. Bahkan ketika kondisi kemiskinan sudah semakin kentara, jadilah mereka para mustahiq (orang-orang yang berhak menerima zakat), yang diharapkan untuk menjadi muzakki namun zakat konsumtif yang diterimakan dari Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat, senantiasa diharapkan dalam setiap tahun. Sangat ironis dari tangan dibawah susah untuk membalikkan sehingga menjadi tangan diatas. Demikaian pula zakat produktif belum diarahkan pada pembinaan pada skala yang kecil (para mustahiq) dengan ashnaf yang lebuih besar dan senantiasa disertai dengan pelatihan, pembinaan dan pelayanan agar dapat membangkitkan potensi dan bakat yang dimiliki.
Distribusi zakat kepada para mustahiq masih terlalu jauh dari panggang api, hal ini dikarenakan tingkat kesadaran para aghniya' yang masih rendah, hitungan dan rumus matematika 2+2=4, 2x3=6, 10-2=8 senantiasa menjadi belenggu kekhawatiran akan berkurangnya harta, dan tidak tercukupinya kebutuhan dalam keluarga, bahkan senantiasa menyingkirkan dari besarnya rahmat Allah. Secara matematika 10-2=8. Dari sepuluh dikurangi 2 menjadi 8, secara lahiriyah memanglah benar dan tidak bisa dipungkiri, karena matematika adalah rumus ilmu eksak atau ilmu pasti) namun secara hakiki bahwa harta tersebut akan senantiasa berkembang dan bertambah. Karena sesuai dengan dengan janji Allah bahwa harta tersebut akan dilipatgandakan, " Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.(QS. Al Baqarah: 261).
Berkurangnya harta akibat di keluarkannya zakat, infaq atau shadaqah akan diganti oleh Allah dalam wujud yang lain. Maka rasul pernah berkata "Shadaqah tidak akan mengurangi harta (Hadits)". Interaksi sosial yang harmonis antara sesama anggota masyarakat sungguh akan menjadi gambaran semakin kuatnya Sunnatullah, ketika yang miskin menjadi orang yang bersabar dan bersyukur, yang kaya demikian pula, pejabatnya senantiasa memegang teguh amanah, rakyatnya senantiasa tenang dalam kepemimpinannya. Inilah jalinan kasih sayang, saling menolong dan meringankan beban dan penderitaan. Demikian pula para aghniya' yang dermawan akan dimudahkan segala urusannya, dirinya sukses dalam harta dan tahta tidak akan menjamin anak turunnya mewarisinya, karena itu ketika orang tua yang membiayai anak-anaknya sedang menimba ilmu senantiasa akan diberi kemudahan. Demikian pula yang belum mendapat pekerjaan akan dilapangkan, pendekatan ini hanya bisa ditempuh dengan konteks spiritual yang ditandai denga ketaatan, istiqomah dan ingin meraih amal shaleh yang selalu meningkat. Karena siapakah yang akan memberikan keberuntungan ketika persaingan kerja semakin ketat, tidak imbangnya antara lapangan pekerjaan dengan kesempatan kerja. Dan hal ini akan dengan mudah diperoleh bila mempunyai nilai kompetitif yang lebih baik dibidang intelektual, sosial dan spiritual.
Kepemilikan harta benda dan kekayaan senantiasa menjadi ujian bagi empunya, " karena sungguh engkau akan diuji terhadap harta dan dirimu" (QS. Ali Imran: 186). Dalam suatu kisah sahabat Ubay bin Kaab, pernah meriwayatkan bahwa pada suatu saat Rasulullah memerintahkan kepada umatnya untuk mengeluarkan zakat mal. Rasul menerangkan tentang nishab (kadar) dan haul (batas waktu), para sahabat faham dan menyadari. Ubay bin Kaab menjumpai salah seorang sahabat yang telah menghitung kekayaannya dan telah mencapai satu nishat yaitu sebesar 1 ekor onta umur satu tahun, namun oleh muzakki (pemilik harta) merasa tidak pantas dan tiada guna, karena onta usia 1 tahun belum dapat diperah susunya demikian pula belum dapat dikendarai. Maka sahabat tersebut hendak memberikan kelebihan dengan memberikan seekor onta betina dewasa yang sudah siap untuk diperah susunya. Namun Kaab tidak mau menerima, karena melebihi nishabnya, dan menunggu kedatangan rasul yang datang ketempat tersebut.
Ketika rasul mengadakan kunjungan ke daerah tersebut, hal tersebut disampaikan perihal seseorang yang akan berzakat namun melebihi kadar nishab, maka rasul menjawab "memang hanya seekor onta umur setahun yang wajib kamu keluarkan, namun bila engkau hendak memberikan yang lebih dari nishabnya maka bisa diterima". Lalu Rasulullah mendoakan keberkahan kepada sahabat tersebut. Dalam kisah yang lain yang juga tak kalah menariknya adalah ketika sahabat Umar hendak menyaingi sahabat Abu Bakar dalam berinfaq. Hal ini terjadi ketika ada perintah dari Rasulullah untuk berinfaq di jalan Allah guna keperluan perang Tabuk. Umar mempunyai sedikit harta, lalu dari harta tersebut dibagi dua yang sebagian untuk beinfaq memenuhi perintah rasul dan yang sebagian untuk keperluan keluarganya. Ketika disampaikan kepada rasul, beliau bertanya "adakah yang kamu tinggalkan untuk keluargamu, Umar menjawab, ya ada, saya bagi dua yang sebagian untuk berinfaq dan yang sebagian untuk keluarga, rasulpun menerima infaqnya. Menurut perasaan Umar ini sudah cukup untuk mengalahkan Abu Bakar dalam hal kelapangan berinfaq. Lalu datang Abu Bakar untuk memberikan kadar infaqnya, dan ditanya oleh rasul, adakah yang kamu tinggalkan untuk keluargamu, Umar menjawab cukuplah Allah dan rasulnya yang aku tinggalkan.
Jadi harta yang diberikan Allah kepada hambanya adalah merupakan amanah, sejauhmana umatnya dapat memegang dan mengendalikan amanah. Maka ketika amanah tersebut diatur menurut ketentuan syari'at yang sebenarnya akan menjadi pengantar bagi hamba Allah untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan. Namun sebaliknya bila amanah tersebut diatur menurut kemauan hawa nafsunya maka akan menjadi fitnah dan mala petaka bagi empunya baik ketika didunia maupun diakherat kelak. Maka sikap hamba Allah untuk melaksanakan amanah sesuai dengan ketentuan syariat atau mengikuti hawa nafsunya sesungguhnya hal ini merupakan ujian keimanannya, "Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi"? (QS. Al Ankabut: 2). Semoga kita tergolong orang yang mempunyai sifat amanah, amin.